kabarita.com-Pemerintah provinsi hanya berwenang terhadap pengelolaan hutan nagari dan kemasyarakatan. Sedangkan hutan adat menjadi kewenangan pemerintah kabupaten dan kota serta hutan kemitraan menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Hal itu merupakan masukan dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat yang melakukan konsultasi terkait Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Perhutanan Sosial, Kamis (15/6/2023). Masukan itu akan dijadikan oleh tim pembahas sebagai acuan untuk penyempurnaan dalam pembahasan Ranperda tersebut.
“Dari hasil konsultasi ke Kemendagri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diperoleh masukan antara lain bahwa yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi hanya hutan nagari dan hutan kemasyarakatan. Sedangkan hutan adat menjadi kewenangan kabupaten dan kota sementara hutan kemitraan menjadi kewenangan pemerintah pusat,” kata Ketua Komisi II DPRD Provinsi Sumatera Barat Mochklasin, Jumat (16/6/2023).
Mochklasin mengungkapkan, kemajuan dalam pembahasan Ranperda Perhutanan Sosial sudah mencapai 80 persen dan diharapkan bisa dituntaskan dalam waktu dekat sehingga bisa ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
Menurut Mochklasin, perhutanan sosial dibuatkan payung hukum adalah dalam rangka memberikan akses kepada masyarakat agar bisa mengelola hutan untuk dimanfaatkan sebagai lahan perekonomian namun dengan tetap memperhatikan kelestariannya.
“Jadi dalam pengelolaan hutan ini bukan sekedar memberikan akses kepada masyarakat, nantinya di dalam perda juga akan diatur mengenai pendampingan karena ini berkaitan dengan kelestarian hutan. Kemudian, pengelolaan juga termasuk soal permodalan, komoditi, pemasaran dan pengolahan hasil hutan serta penerapan teknologi dalam pemanfaatan hutan,” ujarnya.
Mochklasin mengharapkan, lahirnya Perda Perhutanan Sosial di Provinsi Sumatera Barat nantinya akan memberikan dampak ekonomi yang lebih besar kepada masyarakat. Akses pengelolaan hutan bisa menjadi lahan bagi masyarakat untuk membudidayakan berbagai komoditi perkebunan, sehingga menjadi nilai tambah dalam meningkatkan kesejahteraan dan percepatan pembangunan daerah.
Sementara itu, Ketua Tim Pembahas Ranperda Perhutanan Sosial DPRD Provinsi Sumatera Barat Arkadius Datuak Intan Bano menambahkan, dalam konsultasi ke dua kementerian tersebut pihaknya lebih banyak menggali soal kewenangan. Tujuannya, agar produk hukum yang dihasilkan tidak keliru dalam memasukkan cakupan materi dan muatan sesuai kewenangan yang dimiliki pemerintah provinsi terkait pengelolaan hutan sosial tersebut.
“Konsultasi ke Kemendagri dan Kementerian LHK lebih banyak menggali terkait kewenangan, kita tidak ingin nanti terjadi kekeliruan dalam menyempurnakan materi dan muatan Ranperda sehingga tidak melampaui dari yang menjadi kewenangan provinsi,” ulasnya.
Dia menerangkan, secara umum, Ranperda Perhutanan Sosial setelah menjadi Perda akan membuka lapangan kerja baru dan memperluas ruang gerak masyarakat dalam aktivitas perekonomian namun dengan tidak mengabaikan kelestarian hutan. Menurut Arkadius, Sumatera Barat memiliki potensi besar di sektor kehutanan karena sekitar 54.4 persen dari wilayahnya adalah hutan.
“Luasnya mencapai 2.2 juta hektare tersebar di lebih dari 900 nagari (desa) yang tentunya merupakan potensi besar yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber perekonomian masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan,” ujarnya. (*)